Minggu, 06 Maret 2011

MEBANGKITKAN ENERGI BELAJAR PADA ANAK DIDIK*


Oleh: Dr. Nandang Hidayat, M.Pd.**

I. Pendahuluan

A. Rasional

Berbicara tentang pendidikan berarti berbicara tentang upaya mengantarkan anak manusia untuk dapat hidup layak dalam lingkungan masyarakatnya kelak. Tetapi seringkali pendidikan justru menyebabkan manusia terasing dari lingkungannya, karena kurang tepatnya arah dan proses penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan. Seperti halnya terjadi dalam proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Kurikulum berorientasi pada isi (content) yang selama ini digunakan telah mengarahkan proses pendidikan pada pengembangan kemampuan kognitif yang tidak seimbang dengan pengembangan kemampuan pada aspek lain seperti afektif, psikomotor, dan kreativitas serta terlepas dari lingkungan, sehinga manusia yang dihasilkan tidak mampu hidup layak dan tidak kreatif dalam lingkungan kehidupannya. Selain itu, pendidikan kurang mampu mengembangkan potensi (human capacity) yang dimiliki individu secara optimal, tetapi lebih pada pengembangan manusia sebagai suatu sumberdaya yang harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Melihat kenyataan seperti ini, maka amatlah tepat apabila orientasi pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia mulai saat ini dan ke depan lebih diarahkan pada human capacity development (HCD) secara terintegrasi dengan pengembangan kecakapan hidup (life skills) dan bukan human resources development (HRD).
HCD mengacu pada proses pendidikan yang bermuara pada pengembangan seluruh potensi kecerdasan manusia yang bersifat majemuk (multiple intelligence), serta menggali dan mengembangkan keunggulan tersembunyi (hidden excellent) yang dimilikinya. Proses pendidikan seperti ini bisa berlangsung apabila ditunjang oleh suasana lingkungan belajar yang kondusif: ramah, menyenangkan, fleksibel, gembira, multi-cara, multi-indrawi, manusiawi, mengasuh dengan penuh kasih sayang, mengutamakan aktivitas mental-emosional-fisik, bersifat inklusif/mengutamakan kerja sama, mementingkan tujuan, dan berbasis pada hasil. Kondisi seperti ini mendorong peserta didik belajar tanpa tekanan, sehingga dapat membangkitkan energi belajarnya. Sementara itu, HRD lebih mengutamakan pengembangan potensi intelektual sebagai tekanan utama, sehingga melahirkan lingkungan belajar yang kaku, membosankan, behavioristik, verbal, mengendalikan, mengutamakan isi/materi, berorientasi mental kognitif, dan berbasis pada kebutuhan. Kondisi seperti ini menimbulkan energi belajar melemah sehingga peserta didik tidak mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Kecakapan hidup adalah kecakapan yang di miliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.[1] Artinya, kecakapan hidup tidak terbatas pada keterampilan untuk berkerja tetapi lebih luas dari itu adalah kecakapan untuk menghadapi berbagai masalah hidup dan kehidupan sekaligus mampu mencari dan menemukan pemecahanya. Ada lima kecakapan dasar untuk menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yaitu: 1) Kecakapan mengenali diri (Self-awarness), 2) Kecakapan berpikir (Thiking Skills), 3) Kecakapan sosial (Social Skills), 4) Kecakapan akademik (Academic Skills), dan 5) Kecakapan vokasional (Vocational Skills)[2]. Kelima kecakapan dasar ini perlu dikembangkan secara terintegrasi dalam keseluruhan proses pendidikan, agar pendidikan mampu mengantarkan peserta didik untuk bisa hidup layak pada kehidupannya kelak.
Berbagai kondisi pada latar institusi pendidikan akan sangat mempengaruhi terhadap upaya dalam membelajarkan peserta didiknya. Kajian dalam tulisan ini akan memfokuskan pada dua masalah pokok yang terkait dengan tugas guru sebagai ujung tombak keberhasilan institusi pendidikan dalam membelajarkan peserta didiknya.
1. Bagaimana penyelenggaraan proses pendidikan dewasa ini?
2. Bagaimana kegiatan pembelajaran seyogyanya dilakukan guru agar dapat membangkitkan energi belajar pada diri siswa sehingga pembelajaran lebih efektif?

B. Penyelenggaraan Proses Pembelajaran Dewasa ini

Bagaimana proses penyelenggaraan pembelajaran di institusi pendidikan kita dewasa ini dibandingkan dengan perkembangan masyarakat pada era global? Jika kita telaah secara seksama, paling tidak ada tujuh hal yang menunjukkan ketidak sesuaian antara proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan tuntutan masyarakat global, yaitu :
1. Sekolah masih menyelenggarakan proses pembelajaran yang bersifat umum dan teoritik, sementara pada masyarakat global setiap individu dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah yang bersifat spesifik.
2. Sekolah menuntut setiap siswa untuk mastery matery, sementara di masyarakat setiap individu dituntut untuk sharing jobs and responsibility.
3. Proses pembelajaran di sekolah kurang menuntut siswa untuk menggunakan alat-alat pikirnya (tool-lessthought), sementara di masyarakat dituntut untuk mempu mengunakan peralatan kognitif (cognitive tools) secara optimal.
4. Proses pembelajaran di sekolah lebih mengarah pada pengembangan berpikir simbolik (symbolic thinking), sementara di masyarakat dituntut untuk terlibat secara langsung (direct involved).
5. Di sekolah anak didik cenderung bertindak sebagai penerima informasi yang pasif dan guru bertindak sebagai satu-satunya sumber informasi (dengan segala kekurangan dan kelebihannya), sementara mesyarakat di era global menuntut kemampuan mencari, memilih, dan memilah informasi (information searching).
6. Proses pembelajaran lebih bersifat individual dan kompetitif, sementara pada masyarakat global menuntut kemampuan kooperatif dan kolaboratif.
7. Orientasi tujuan pembelajaran ke arah pengembangan kemampuan kognitif (kecerdasan intelektual) lebih mendominasi dalam proses pembelajaran, sementara masyarakat global menuntut kemampuan kognitif, afektif, psikomotor, dan kreativitas yang terintegrasi (baca: kompetensi).
Jika proses penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di institusi-institusi pendidikan tidak dapat menyesuaikan dengan tuntutan yang dibutuhkan di masyarakat, pada akhirnya institusi pendidikan tidak akan mampu mengantarkan para peserta didiknya untuk dapat hidup dalam masyarakat tetapi justru sebaliknya akan menyebabkan mereka terasing dari masyarakatnya. Oleh karena itu, institusi pendidikan harus melakukan perubahan proses penyelenggaraan pendidikan secara terus menerus untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Meminjam kata dari Dryden dan Vos[3] secara ekstrim dikatakan bahwa sekolah perlu melakukan revolusi pembelajaran (the learning revolution) agar kita (bukan hanya peserta didik) dapat belajar apapun dengan lebih baik dan lebih cepat dalam masyarakat global yang cenderung cepat berubah dan tak terduga.

II. Bangkitkan Energi Belajar Melalui Belajar Kuantum

A. Pengertian Belajar Kuantum

Sebelum membahas tentang belajar kuantum, pada bagian ini perlu ditekankan kembali pentingnya melakukan revolusi pembelajaran. Jika institusi pendidikan ingin berhasil mengantarkan para peserta didiknya untuk mampu hidup layak dalam kehidupan masyarakatnya kelak, maka tidak ada resep lain kecuali melakukan perubahan dan inovasi dalam kegiatan pembelajaran secara kreatif dan terus-menerus. Bahkan bagi dunia persekolahan kita bukan hanya sekedar perubahan biasa tetapi perlu melakukan revolusi pembelajaran. Revolusi pembelajaran yang dilakukan jangan hanya terkait dengan implementasi KBK, melainkan harus didasarkan pada keinginan mengembalikan fungsi pendidikan sesuai dengan filosofinya, yaitu “mengantarkan anak didik menyosong hidupan yang layak dalam masyarakatnya kelak”. Seperangkat metode pembelajaran dan falsafah belajar yang diduga dapat mengembalikan fungsi pendidikan sebagaimana mestinya adalah belajar kuantum (quantum learning), apabila dirancang dan diimplementasikan secara benar.
Belajar kuantum berakar dari prinsip “suggestology” atau “suggestopedia” yang dikembangkan oleh Geogi Lozanov yang menjelaskan bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif.[4] Artinya, hasil belajar yang dicapai oleh anak didik (pembelajar) akan baik apabila lingkungan, proses, dan sumber-sumber belajar memberikan sugesti positif pada dirinya, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, agar terjadi belajar kuantum, ciptakanlah lingkungan belajar terbaik bagi anak didik. Lingkungan belajar yang dapat menimbulkan pikiran dan sikap positif. Lingkungan belajar yang aman dan mendukung bertumbuh dan berkembangnya kepercayaan dan citra diri anak didik. Lingkungan belajar dengan suasana nyaman, indah, cukup penerangan, dan bila perlu disertai alunan musik, dan dudukung oleh proses belajar yang variatif, banyak terobosan, perubahan, permainan yang edukatif, partisipatif, serta sumber-sumber belajar yang dapat memberi pengalaman yang mampu meningkatkan “AMBAK”[5] dan menimbulkan getaran emosi (emotional thrill) pada diri anak didik, “AHA”.[6]
Lingkungan dan suasana belajar demikian akan mendorong kemunculan sugesti-sugesti positif sehingga menjadi cahaya yang mampu menjadi lokomotif yang dapat membangkitkan energi belajar. Ingatlah rumus yang sangat terkenal dalam fisika kuantum (E = m.c2), energi sama dengan massa kali kuadrat kecepatan cahaya. Pemberian label “belajar kuantum“ sesungguhnya meminjam dari konsep fisika kuantum. Kenyataannya memang benar bahwa tubuh kita secar fisik adalah materi yang memiliki massa dan dilengkapi dengan seperangkat peralatan belajar termasuk otak. Ketika belajar, kita membutuhkan sebanyak mungkin cahaya: kepercayaan diri, minat, motivasi, AMBAK, interaksi, hubungan, kooperasi-kolaborasi, dan inpirasi untuk diubah menjadi energi pembangkit belajar.
Belajar kuantum juga terkait dengan aspek-aspek penting dari neurolinguistic program (NLP), yaitu serangkaian penelitian yang mengkaji tentang bagaimana otak bekerja dalam mengatur informasi.[7] Dengan demikian, belajar kuantum menghubungkan dua bidang utama, yaitu hasil-hasil penelitian modern tentang otak yang menakjubkan dengan kekuatan dari kemudahan memperoleh informasi dan pengetahuan. Artinya, untuk membelajarkan anak, kita juga harus belajar bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang sangat brilian dalam diri manusia, hampir tidak terbatas daya atau kemampuannyanya yang terdiri dari milyaran sel dan trilyunan penghubung, yaitu otak. Selain itu, kemudahan dalam menggali informasi dalam berbagai bentuk, hampir semua orang berkesempatan untuk memanfaatkannya, dan menghubungkan setiap orang dalam jaringan global melalui jaringan internet yang disebut learning web, harus kita manfaatkan seoptimal mungkin untuk mempercepat revolusi pembelajaran melalui informasi dan inovasi. Selanjutnya, merupakan kewajiban kita sebagai guru untuk mengemasnya dalam bentuk aktivitas pembelajaran untuk membelajarkan anak didik.
Belajar kuantum juga terkait erat dengan konsep “percepatan belajar” (accelerated learning), yaitu yaitu seperangkat metode dan teknik pembelajaran yang memungkinkan anak didik belajar dengan kecepatan yang mengesankan, tetapi melalui upaya yang normal dan penuh keceriaan. Belajar kuantum menyatukan permainan, hiburan, cara berpikir dan bersikap positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional yang terpelihara yang dikemas secara sinergi dalam aktivitas pemebelajaran mendorong terjadinya belajar yang efektif sehingga memungkinkan terjadinya percepatan belajar .
Gambaran ringkas tentang belajar kuantum sebagaimana diutarakan di atas memberi isyarat kepada kita bahwa pembelajaran yang orientasi tujuannya didominasi oleh upaya peningkatan kemampuan kognitif saja, saat ini sudah tidak layak lagi. Hasil penelitian Daniel Goleman memberi bukti yang cukup mengejutkan bahwa aspek kognitif atau intelektual hanya 20% sumbangannya terhadap keberhasilan seseorang dalam hidupnya, selebihnya yaitu 80% ditentukan oleh kecerdasan emosional.[8] Artinya kecerdasan emosional dan kecerdasan-kecerdasan lainnya, sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kenyataan ini mendorong dilakukannya reorientasi tujuan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Pembelajaran seyogyanya dilaksanakan dengan tujuan yang lebih berdeferensiasi mencakup bukan hanya pada upaya peningkatan kecerdasan intelektual, melainkan juga mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan lainnya, karena manusia memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligence), dan belajar kuantum memungkinkan untuk itu, jika dilaksanakan dengan baik dan terencana.
Pada akhir bagian ini sekali lagi ditekankan bahwa revolusi pembelajaran mutlak perlu dilakukan karena pembelajaran dewasa ini terlalu banyak mengandalkan pada kemampuan mendengar anak dalam menangkap materi pembelajaran, sehingga hasil belajar yang dicapai tidak maksimal. Padahal manusia adalah makhluk unik, ia bisa belajar melalui : (1) pendengaran, (2) penglihatan, (3) pengecapan, (4) sentuhan, (5) penciuman, (6) melakukan, (7) hayalan, (8) intuisi, dan (9) perasaan. Semua kemampuan itu harus diberdayakan agar kemampuan-kemampuan itu terlatih sekaligus pembelajaran menjadi lebih efektif. Fleksibilitas metode dan teknik dalam belajar kuantum memungkinkan untuk memberdayakan semua kemampuan itu.
B. Selintas tentang Otak dan Cara Kerjanya
Penelitian tentang otak manusia telah dilakukan ratusan bahkan ribuan tahun tahun yang lalu. Perkembangan penelitian yang sangat pesat tentang otak manusia terjadi pada abad keduapuluh khususnya pada tahun 1990-an. Pembahasan pada tulisan ini tidak akan mengupas tentang perkembangan teori tentang otak manusia dari berbagai penelitian yang dihasilkan, tetapi akan lebih menekankan pada teori tentang otak yang paling mutakhir yaitu teori belahan otak dan pembahasannya pun tidak terlalu rinci, karena tulisan ini bertujuan untuk memberikan memancing peserta untuk menelusuri dan mengkaji lebih dalm tentang otak dan cara kerjanya.
Menurut teori belahan otak atau sering disebut teori otak kanan otak kiri, otak terbagi kedalam dua belahan yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan otak ini terdiri dari cerebralcortex atau neocortex termasuk belahan sistem limbic-nya. Kedua belahan otak ini dihubungkan oleh tiga penghubung yaitu Corpus Colasum, Hippocompal Commissure, dan Anterior Commissure. Belahan otak kiri (left cortex) mengendalikan bagian tubuh sebelah kanan sedangkan belahan otak kanan (right cortex) mengendalikan bagian tubuh sebelah kiri. Belahan otak kiri berperan dalam kegiatan motorik (motor sequence) sedangkan belahan otak kanan berperan dalam kegiatan berkenaan dengan sonsor-sensor rasa (sensory sequence). Pembagian fungsi berkenaan dengan mental skills untuk memproses dan menyimpan informasi antara belahan otak kanan dengan belahan otak kiri berbeda. Belahan otak kanan berhubungan dengan proses dan penyimpanan informasi tentang gambar, imajinasi, warna, ritme, dan ruang; Dalam kerjanya otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Belahan otak kiri berhubungan dengan bilangan/angka, kata-kata, logika, urutan atau daftar, dan detail atau rincian-rincian. Dalam kerjanya, belahan otak kiri berrsifat logis, sekuensial, linier, dan rasional.
Ada empat karakteristik utama dari otak manusia dalam melaksanakan fungsinya, yaitu: (1) Spesialisasi; ada pembagian fungsi secara khusus dari bagian-bagian otak. Misalnya, batang otak (otak reptil) memiliki spesialisasi fungsi motor sensori, kelangsungan hidup, hadapi atau lawan; Sistem limbic memiliki spesialisai fungsinya dengan perasaan/emosi, berperan aktif dalam memori, bioritmik dan sistem kekebalan; Neocorteks (otak berpikir) memiliki spesialisasi fungsi berpikir intelektual, penalaran, perilaku waras, logika berbahasa, dan kecerdasan tingkat tinggi. (2) Keterkaitan; otak penuh dengan berbagai penghubung (connectors) yaitu serat-serat pada otak. Serat-serat ini berfungsi sebagai pembawa pesan yang digunakan oleh berbagai bagian otak yang berbeda untuk digunakan berkomunikasi antara satu dengan lainnya. (3) Situasional; bagian-bagian otak dengan fungsinya masing-masing bekerja secara situasional sesuai dengan sedang bekerja atau tidaknya bagian otak itu. Misalnya ketika seorang sedang berkhayal maka otak yang berfungsi untuk berkhayal menjalankan fungsinya sedangkan bagian otak lain seperti fungsi berhitung istirahat. (4) Iterasi; yaitu gerak bolak-balik melalui isyarat-isyarat (signal) diantara pusat-pusat spesialisasi pada otak baik pada belahan otak yang sama maupun antar kedua belahan otak.
Agar otak bisa bekerja atau belajar dengan baik, maka otak harus sehat. Kondisi eksternal mempengaruhi kondisi internal otak. Ada empat fungsi dasar otak yang harus difungsinkan dengan benar agar otak sehat, yaitu:
1. Struktur fisik dan lingkungan kimiawinya; otak akan berkerja optimal bila secara fisik sehat dan lingkungan kimiawinya tidak terkontaminasi oleh zat-zat asing seperti alkohol, atau zat-zat adiktif lainnya.
2. Menerima informasi dari waktu ke waktu melalui indra; agar otak bisa bekerja dengan baik maka otak harus difungsikan sebagaimana mestinya dengan cara memperbanyak informasi yang masuk kedalam otak melalui pengamatan indra secara multi-indrawi.
3. Menyimpan informasi masa lalu; Otak menyimpan informasi bukan dalam bentuk baris dan kolom, tetapi dalam bentuk jaringan informasi atau sering disebut peta pikiran. Latihlah otak kita untuk menyimpan informasi-informasi penting yang sudah didapat pada masa lalu dalam bentuk peta pikiran.
4. Mengasosiasikan informasi lama dengan informasi baru; informasi baru hendaknya diasosiasikan dengan informasi lama yang sudah ada sehingga menambah retensi dan informasi menjadi bermakna.
Keempat fungsi dasar itu harus djalankan dengan baik agar otak terlatih. Berbeda dengan barang lain yang mengalami kerusakan atau kerjanya menjadi berkurang apabila sering dipakai, otak justru semakin baik kerjanya apabila sering digunakan. Oleh karena itu, gunakan otak kita untuk belajar sebagaimana fungsinya sebagai pusat belajar.

C. Kegiatan Pembelajaran untuk Mewujudkan Belajar Kuantum

Bagaimana kegiatan pembelajaran seyogyakan dilakukan agar terjadi belajar kuantum? Terkait dengan pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran agar efektif atau terjadi belajar kuantum, yaitu:
1. Learning is most effective when it’s fun (Peter Kline).
Ciptakanlah suasana yang menyenangkan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Pecahkan berbagai kendala belajar yang dialami oleh anak didik. Arahkan mereka untuk bertumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri dan tidak muncul. Tampilkan suasana hati kita sebagai guru yang positif dan raihlah minat siswa. Jangan mengendalikan anak didik tapi jadilah pengasuh yang baik (ingat bagaimana Anda belajar secara kuantum ketika bertumbuh dan berkembang secara mengagumkan pada rentang usia 0 hingga 6 tahun di bawah asuhan orang tua).
2. To learn it, do it (Robert C. Schank)
Jika belajar hanya dengan cara mendengarkan maka konten yang dipelajari akan mudah lupa, jika dengan cara melihat mungkin akan ingat tetapi belum tentu bisa, jika dengan cara melakukan maka seluruh indera kita bekerja secara aktif sehingga akan lama diingat dan pasti bisa. Oleh karena itu, lakukanlah kegiatan belajar itu dengan melibatkan anak secara aktif bukan hanya sekedar fisik tetapi aktif secara mental-emosional. Ciptakanlah alat peraga yang memungkinkan anak bisa bereksplorasi dengan melakukan berbagai hal terkait dengan materi yang diajarkan. Bila perlu dan memungkinkan, bawalah objek sesungguhnya yang dipelajari ke dalam kelas atau bawalah anak didik ke lingkungan yang relevan dengan bahan yang dipelajari.
3. Your brain is like a sleeping giant (Tony Buzan)
Pelajarilah berbagai hasil penelitian mutahir tentang cara kerja otak. Ubahlah pengetahuan kita tentang itu semua ke dalam tindakan kita saat membelajarkan anak. Kembangkanlah kemampuan otak anak secara maksimal melalui pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti berpikir analitis, kritis, dan pemecahan masalah. Jangan biarkan otak anak didik kita terbaring terus dalam tidur yang panjang, atau jangan biarkan otak anak bekerja sambil terkantuk-kantuk. Perhatikan agar kemampuan belahan otak kanan dan kiri anak bisa berkembang secara seimbang.
4. The traditional education system is Obsolute (Richard L. Measelle)
Dewasa ini kegiatan pembelajaran lebih cenderung bersifat tertutup dan mutlak. Jika guru bertanya dan siswa menjawab tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka guru akan menyalahkan seolah-olah jawaban yang benar itu mutlak/tertutup dan tidak ada alternatif jawaban lain. Perlu diingat bahwa: “Anak didik tidak pernah salah dalam menjawab pertanyaan, mereka menjawab sesuai dengan persepsinya atas pertanyaan tersebut. Tugas kita adalah mencari pertanyaan yang benar untuk jawaban tersebut.” Ciptakanlah pembelajaran yang terbuka (divergen) agar berkembang kemampuan berpikir kreatif anak.
5. Six main pathways to the brain : we learn by what we see, what we hear, what we taste, what we touch, what we smell, and what we do (Gordon Dryden)
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru cenderung lebih banyak menggunakan metode ceramah sehingga para siswa belajar hanya dengan mengandalkan kemampuan menyerap informasi melaui pendengaran saja, padahal setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda sesuai dengan kemampuan belajar yang menonjol pada dirinya (auditory, visual, dan bodilykinestetics). Lebih parah lagi, secara umum terjadi ketika kita melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan metode ceramah, kita menyampaikan presentasi dan eksplanasi yang cenderung “berbicara kepada siswa” ketimbang “berbicara dengan siswa”. Akibatnya, paling tidak (1) komunikasi menjadi satu arah, (2) siswa pasif menerima informasi dan terkesan seperti tong kosong yang siap diisi dengan berbagai informasi yang mungkin saja tidak sesuai dengan harapannya, (3) pembelajaran menjadi teacher center, (4) potensi intelektual, personal, dan sosial siswa kurang bertumbuh dan berkembang, (5) kurang memacu keterampilan berpikir siswa, (6) kecil kemungkinan terjadi self-discovery learning, dan (7) kepercayaan diri siswa melemah. Semua itu menyebabkan hasil belajar yang dicapainya tidak maksimal. Oleh karena itu, ciptakan suasana pembelajaran yang memungkinkan semua kemampuan belajar siswa berkembang.
6. An idea is a new combination of old elements (Gordon Dryden)
Guru seringkali memaksakan konsep atau materi baru yang diajarkan tanpa mempertimbangkan pengetahuan yang telah dimiliki anak. Padahal manusia belajar dan membangun pengatahuannya atas dasar pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lakukanlah pembelajaran dimulai dari apa yang sudah diketahui siswa.
Mencermati beberapa pemikiran cemerlang di atas dan kaitannya dengan penyelenggaran pembelajaran, maka kita yakin bahwa (1) semua anak bisa belajar apapun jika mereka senang melakukannya, (2) bagi anak berbakat (bakat intelektual) belajarnya bisa dipercepat (accelerated learning) jika suasana belajar kondusif untuk terjadinya percepatan belajar, (3) pembelajaran bukan hanya mampu meningkatkan kemampuan atau kecerdasan intelektual anak tetapi juga kecerdasan multiple anak.
Metode pembelajaran yang bagaimanakah yang paling baik untuk terjadinya pembelajaran yang efektif dan efisien? Tentu saja tidak ada metode yang paling baik, karena metode pembelajaran sangat terkait dengan karakteristik materi pelajaran, sarana dan keterampilan guru dalam melaksanakannya. Pada prinsipnya, quantum learning menuntut diselenggarakannya kegiatan pembelajaran yang bersifat multi-method dan multi-threat. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan ke depan disarankan mengunakan metode pembelajaran yang bersifat integratif yang mampu membangkitkan seluruh energi pada diri anak didik untuk belajar, salah satu contoh misalnya pembelajaran kooperatif–kolaboratif.
Bagaimana strategi pembelajaran yang harus kita rancang agar dapat mebangkitkan energi belajar pada diri anak didik? Berikut ini disajikan strategi umum yang pada penerpannnya dapat dikembangkan dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dihadapi. Strategi yang dimaksud adalah:
1. Kegiatan pra-instruksional
Keberhasilan guru dalam membelajarakan anak didik diawali dari aktivitasnya dalam mengawali kegiatan pembelajaran (kegiatan pra-instruksional). Apabila pada kegiatan pra-instruksional ini, guru mampu membangkitkan energi belajar pada diri anak didik, maka keberhasilannya dalam membelajarkan anak didik sudah di depan mata. Sebaliknya akan gagal jika pada kegiatan awal guru tidak mampu membangkitkan energi belajar tersebut. Oleh karena itu, strategi yang harus disiasati guru pada kegiatan pra-instruksional adalah mengidentifikasi berbagai alternatif aktivitas maupun ungkapan verbal yang cocok dengan usia anak didik yang dihadapi serta relevan dengan bahan pembelajaran yang akan disampaikan, kemudian dikemas dengan apik dan cermat untuk disajikan mengawali proses pembelajaran.
Suatu bentuk aktivitas pra-instruksional itu dakatakan cocok apabila berdasarkan pemikiran rasional maupun pengalaman empirik sebelumnya, aktivitas tersebut teruji dapat membangkitkan energi belajar berupa:
1) Kepercayaan diri anak didik, mereka meyakini bahwa dirinya dapat berhasil menguasai bahan yang akan dipelajarinya “saya pasti bisa”.
2) Meraih minat anak didik, melalui aktivitas dan ungkapan-ungkapan yang disampaikan guru menimbulkan minat dan rasa ingin tahu yang besar pada diri anak didik.
3) Menciptakan AMBAK, mereka juga meyakini bahwa apa yang akan dipelajarinya memberi manfaat bagi dirinya.
4) Mendorong timbulnya motivasi belajar yang tinggi pada diri anak didik.
5) Mengaktifkan mental perancah (scaffolding), apa yang sudah diketahui anak sebelumnya merupakan bahan pengait yang akan menjadi mental perancah guna menguasai bahan pembelajaran baru.
Aktivitas untuk membangkitkan itu semua dapat dilakukan melalui beragam permainan, cerita pengantar diskusi, teka-teki, dan berbagai aktivitas kreatif lainnya. Prinsipnya hindari aktivitas atau ungkapan verbal yang dapat menimbulkan kontra-produktif.
2. Kegiatan Utama
Apabila kegiatan pra-instruksional telah berhasil membangkitkan energi belajar sehingga anak didik siap untuk belajar bahan pembelajaran baru, maka langkah selanjutnya adalah merancang kegiatan inti yang memungkinkan anak belajar dalam suasana yang aman, gembira, menyenangkan (tidak tertekan) namun menantang. Bahan pembelajaran baru yang dimaksud meliputi: (1) pengetahuan (knowledge), (2) keterampilan (skills) baik keterampilan motorik, berpikir, dan berbicara, (3) sikap dan nilai (attitude), serta (4) Pembiasaan bertindak yang didasari oleh integritas kepribadian yang tinggi.
Kegiatan pembelajaran utama pada intinya harus memuat: (1) Penjelasan disertai ilustrasi, analogi, dan metafora yang relevan dengan bahan ajar dan cocok dengan perkembangan intelektual dan emosional anak. Dalam hal ini, usahakan agar terjadi interaksi multi-arah. Artinya jangan sampai terjadi dominasi ada di pihak guru. Lakukanlah teknik “berbicara dengan siswa” bukan “berbicara kepada siswa”. (2) Pemberian contoh dan non-contoh untuk memantapkan pemahaman anak terhadap bahan pembelajaran yang disampaikan. (3) Pemberian latihan yang dapat mengembangkan pemahaman anak terhadap bahan pembelajaran. Mulailah latihan dari hal-hal yang sederhana, dan berilah kesempatan anak yang memiliki potensi lebih pada bidang studi tersebut untuk berlatih lebih banyak. (4) Praktik untuk membiasakan anak menggunakan apa yang sudah dipelajari ke dalam tindakan-tindakan nyata.
Pada praktiknya, guru dituntut untuk melakukan kegiatan utama ini dengan multi-traits, multi-methods, dan multi-games, sehingga melahirkan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk belajar dan mengembangkan seluruh potensinya secara optimal. Guru bisa mengadopsi berbagai permainan dari berbagai media dan memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan untuk digunakan sebagai teknik pembelajaran di kelas .
3. Kegiatan Penutup
Kegiatan ini merupakan bagian untuk mengevaluasi keberhasilan guru dalam membelajarkan anak didik dan keberhasilan anak didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Kegiatan penutup ini juga merupakan sarana bagi guru maupun anak didik untuk mendapatkan umpan balik (feedback) dan penetapan tindak lanjut yang harus dilakukan guru untuk memperbaiki kelemahan, kesulitan dan kekurangan anak didik, serta memperbaiki program pembelajarannya.

III. Penutup

Hidup sepenuhnya bukan hasil dari keadaan atau lingkungan, tetapi semata-mata adalah hasil VISI terhadap realita di sekitar kita. Sikap dan Visi mempengaruhi semua segi kehidupan, mengatur semua aksi dan reaksi tanpa kecuali. Dengan kata lain, segala perasaan dan tindakan diatur oleh Visi kita.
Kesanggupan kita mewujudkan Visi, bergantung pada keyakinan akan kemampuan diri sendiri. Keyakinan akan kemampuan diri sendiri bertanggung jawab atas sebagian besar dari keberhasilan dan kegagalan kita dalam mewujudkan Visi. Sanggupkah kita melakukan semua apa yang sudah kita bicarakan? Jawabannya hanya Anda yang tahu, karena ada dalam pikiran Anda.
Saya hanya bisa berpesan, kita adalah “gajah” yang besar dan kuat. Dengan kekuatannya, ia dapat dengan mudah mengangkat beban seberat satu ton. Tapi saat ini, kita adalah “gajah” yang sedang terikat pada sebatang kayu kecil oleh seutas tali yang kecil pula, dan hanya bisa menjerit “I CAN’T …………!!!

Referensi

Anderson, Lorin W. The Effective Teacher: Study Guide and Readings. New York: McGraw-Hill Publishing Company, 1989.
Ballack A. A., H.M. Klienbard, R.T. Hyman, and F.L. Smith. The Language of Classroom. New York: Teachers College Press, 1966.
DePorter Bobbi and Mike Henarcki. Quantum Learning: membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, alih bahasa Alawiyah Abdurrahman. Bandung: Kaifa 2002.
Dryden, Gordon dan Jeannette Vos, The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns. New Zealand: The Learning Web, 1999
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence. London: Bloomsbury, 2000.
Schartz, David J. Berpikir dan Berjiwa Besar: The Magic of Thinking Big, alih bahasa F.X. Budiyanto. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.
Sternberg, Robert J. How Practical and Creative Intelligence Ditermine Success in Life: Successfully Intelligence. New York: A Plume Book, 1996.
Tim Broad Base Education, Konsep Pendidikan Bagi Masyarakat Luas: Berorientasi Kecakapan Hidup (Broad Based Education), Buku I (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional ,2001) , p.7.


* Disampaikan pada Penataran Kependidikan Guru “Sistem dan Evaluasi Pendidikan” di Pesantren Modern Daruul ‘Uluum Lido Bogor, tanggal 15 Juli 2004.
** Dosen Program Pascasarjana dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan.
[1] Tim Broad Base Education, Konsep Pendidikan Bagi Masyarakat Luas: Berorientasi Kecakapan Hidup (Broad Based Education), Buku I (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional ,2001) , p.7.
[2] Ibid., p. 9
[3] Gordon Dryden dan Jeannette Vos, The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns (New Zealand: The Learning Web, 1999), p. 19 – 36.
[4] Bobbi DePorter dan Mike Hernachi, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, terjemahan Alwiyah Abdurahman (Bandung: Kaifa, 1992), p. 14.
[5] “AMBAK” merupakan singkatan dari “Apa Manfaatnya BAgiKu?”. AMBAK merupakan istilah yang digunakan dalam quantum learning yang diyakini dapat menimbulkan sugesti positif.
[6] “AHA” adalah ekspresi emosional ketika seseorang menemukan sesuatu yang dicarinya, memahami atau dapat melakukan dengan baik tentang sesuatu yang dipelajarinya, berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapinya, atau sejenis keberhasilan lainnya.
[7] Ibid., loc. cit.
[8] Daniel Goleman, Emotional Intelligence (London: Bloomsbury, 2000), p. 140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar